Minggu, 24 Juni 2012

Indonesia Pada Masa Jepang

BIROKRASI INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
oleh : Andrik Suprianto

Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang paling bersejarah dalam sejarah bangsa Indonesia. pada masa ini telah terjadi perubahan mendasar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah dampak dari pendudukan Jepang yang sangat menekan dan memeras. Masa yang sangat singkat sebanding dengan masa dengan masa penjajahan belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lama(Utomo, 1995: 176).
Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperialism di asia tenggara. Kedatangannya di Indonesia ingin sebuah imperium di Asia. Munculnya imperlialisme Jepang tidak lepas dari adanya restorasi Meiji yang berdampak sebagai modernisasi di segala bidang kehidupan. Selain itu juga, Imperliasme jepang juga didukung filsafat Hakko Ichi-u.
Filsafat ini dilatar belakangi oleh Pernyataan jenderal Hideki Tojo, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan nasional dasar dari pada Jepang adalah “pembentukan perdamaian dunia sesuai dengan cita-cita yang mulai Hakko Ichi-u (delapan benag dibawah satu atap), yang menjadi landasan Kemaharajaan. Intisari dari filsafat ini adalah pembentukan suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar di dunia. Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang meliputi kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina, dan Mancukuo (Manchuria) sebagai tulang punggungnya(Notosusanto, 1979 :17-18)
Cita-cita Jepang untuk membangun kawasan persemakmuran asia timur raya di bawah naunganya, di coba di realisasi dengan mencetuskan perang pasifik, yang dimulai dengan penyerangan mendadak terhadap pangakalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai pada 7 Desember 1941. Setelah serangan ke Pearl Harbour, gerakan invasi Jepang merembet ke Asia Tenggara. Dengan cepat Jepang mampu menguasai Philipina pada bulan Januari 1942. Singapura bulan Februari 1942(Utomo, 1995: 179). Faktor sumber daya alam mempengaruhi Jepang untuk menginvansi ke Asia Tenggara. Tempat yang banyak sumber daya alam tersebut adalah wilayah Hindia-Belanda. 10 januari 1942, Tarakan yang merupakan wilayah Hindia-Belanda yang merupakan tambang minyak terbesar berhasil kuasai oleh Jepang. Kemudian selanjutnya beberapa kota yang merupakan kota tambang minyak berhasil dikuasai oleh Jepang. Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 dengan di tanda tanganinya perjanjaian Kalijati, secara resmi Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan seluruh wilayah Hindia-Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Perundingan itu dilakukan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang didampingi oleh Jenderal Ter Poorten dan para pembesar lainnya dengan perintah Jenderal Hitoshi Imamura..
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka sejak tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah masa penjajahan Belanda sekaligus dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia. Dalam pandangan Jepang, cita-cita untuk mewujudkan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sebagai tahap pertama dari upaya mewujudkan lingkungan kemakmuran bersama dan perdamaian dunia telah dapat dirampungkan. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Pemerintah Militer Jepang adalah membentuk pemerintahan militer untuk memobilisasi potensi rakyat Indonesia untuk mempercepat berakhirnya Perang Pasifik

Struktur Pemerintahan
Ketika bangsa Jepang mulai meningkatkan rencana ekspansinya ke Selatan, termasuk ke Indonesia, salah satu persiapan penting yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang adalah merencanakan pemerintahan di seluruh wilayah Selatan yang diduduki oleh militer Jepang. Ada dua dokumen yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan militer Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942-1945. Dokumen pertama adalah “Asas-Asas Mengenai Pemerintahan di Wilayah-Wilayah Selatan yang Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo) yang disahkan dalam Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan  Kantor Kabinet pada tanggal 20 November 1941. Dokumen tersebut memuat empat rencana pokok pemerintahan pasca penguasaan daerah Selatan oleh militer Jepang.
Pertama, sasaran pemerintah militer adalah (a) memulihkan ketertiban umum; (b) mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan nasional; dan (c) menjamin berdikari di bidang ekonomi bagi personel militer.
Kedua, status terakhir wilayah-wilayah yang diduduki dan pengaturannya pada masa depan akan ditentukan terpisah.
Ketiga, dalam pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada akan dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi tradisional dan kebiasaan-kebiasaan penduduk setempat.
Keempat, penduduk setempat akan dibina sedemikian rupa sehingga mempunyai kepercayaan kepada pasukan pasukan Jepang dan penggairahan secara prematur dari gerakangerakan kemerdekaan penduduk setempat harus dihindarkan (Notosusanto, 1970: 94).
Dokumen kedua adalah “Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-Wilayah yang Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni Kansuru riku-kaigun Chuo Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada tanggal 26 November 1941. Berdasarkan dokumen ini, Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang secara bersama-sama akan menjalankan wewenang politiknya atas wilayah Indonesia.
Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali dimasukkan ke dalam wewenang Angkatan Darat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menjadi wewenang Angkatan Laut. Selain itu, dicapai pula kesepakatan bahwa pelaksanaan pemerintahan di wilayah Indonesia sepenuhnya akan dikendalikan oleh masing-masing Markas Besar Angkatan Darat dan Markas Besar Angkatan Laut yang mengkoordinasikan kegiatan komando-komando di bawahnya. Dengan mengacu pada kedua dokumen itu, sejak Kapitulasi Kalijati tanggal 8 Maret 1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia.
Pertama, Pulau Sumatra diperintah oleh Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan Bukittinggi sebagai markas besarnya.
Kedua, di Pulau Jawa-Bali lahirlah pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara Ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan Batavia (kemudian diubah namanya menjadi Jakarta) sebagai markas besarnya.
Ketiga, Angkatan Laut Jepang membentuk pemerintah militer atas Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pelaksana dari pemerintahan militer ini adalah Armada Ke-3 Angkatan Laut Jepang (kemudian berubah menjadi Armada Wilayah Barat Daya) dengan Makasar sebagai markas besarnya.
Meskipun demikian, kalau dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, kedudukan Pemerintahan Militer Tentara Ke-16 di Pulau Jawa memiliki pengaruh dominan atas hegemoni Jepang di Indonesia. Hal ini tidaklah terlalu aneh mengingat kedudukan Pulau Jawa sebagai pusat aktivitas bagi seluruh wilayah Indonesia sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda. 
Pemerintahan Sumatra
Pemerintahan di Sumatra di laksanakan oleh tentara ke-25 angkatan darat Rikugun. Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang di bawah pimpinan Letjen Yamashita Tomoyuki baru berhasil menguasai Sumatra sepenuhnya pada tanggal 12 Maret 1942. Namun demikian, daerah daerah vital di pulau ini telah dikuasai oleh Tentara Ke-25 sejak tanggal 16 Februari 1942. Sebelum Tentara Ke-25 membentuk gunseikanbu, Letjen Yamashita Tomoyuki membagi Pulau Sumatra menjadi 10 keresidenan (syu) yang membawahkan bunsyu (subkeresidenan), gun, dan son. Kesepuluh Syu itu adalah Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka- Biliton. Setiap syu dipimpin oleh syuchokan yang dipegang oleh orang-orang Jepang.
Pada pertengahan tahun 1943, Panglima Tentara Ke - 25 berhasil membentuk gunseikanbu, yaitu staf pemerintahan militer pusat sebagai organ pelaksana pemerintahan di Sumatra. Staf pemerintahan militer pusat ini dipimpin oleh seorang gunseikan yang dipegang langsung oleh Panglima Tentara Ke-25. Dalam melaksanakan pemerintahannya, gunseikan membentuk sepuluh departemen yang dikepalai oleh seorang direktur. Kesepuluh departemen itu adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Kepolisian, Departemen Kehakiman, Departemen Industri, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Penerangan, Departemen Pemindahan dan Pengiriman, dan Departemen Meteorologi. Kesepuluh direktur ini diawasi oleh Direktur Dalam Negeri yang bertindak sebagai Wakil Gunseikan. Sementara itu, setiap pemerintahan syu memiliki tiga buah departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kepolisian, dan Departemen Kesejahteraan Sosial(Suwarno, 2003: 80-81).
 Pemerintahan Indonesia Timur
Pelaksanaan pemerintahan militer untuk wilayah Indonesia Timur dilaksanakan oleh Armada Ke-3, yang kemudian menjadi Armada Wilayah Barat Daya (Nansei Homen Kantai) angkatan laut Jepang dengan Makasar sebagai pusat pemerintahannya. Pemerintahan militer yang dijalankan oleh Angkatan Laut ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Minseifu (pemerintahan sipil) yang membawahkan tiga buah minseibu, yaitu: wilayah Kalimantan dengan Balikpapan sebagai markas besarnya; Sulawesi dengan markas besarnya di Makasar; dan Maluku-Nusa Tenggara dengan markas besarnya di Ambon. Sementara, Irian Barat (berubah nama menjadi Irian Jaya kemudian Papua) ditempatkan dalam satu pemerintahan dengan Papua Nugini. Penggabungan ini semata-mata dilakukan oleh Angkatan Laut Jepang karena pertimbangan strategi mereka dalam menghadapi Perang Pasifik(Notosunsanto, 1979: 25).
Masing-masing minseibu membawahkan syu, ken, bunken (subkabupaten), gun, dan son. Sebelum bulan Agustus 1942, beberapa orang Indonesia memegang jabatan tinggi. Akan tetapi, sejak bulan Agustus 1942 jabatan yang dipegang oleh orang-orang Indonesia hanya terbatas sampai gunco dan kenco (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990 : 12-13).            
Pemerintahan di Jawa
 Roda pemerintahan atas Pulau Jawa dilaksanakan oleh Tentara Ke-16 Angkatan Darai Jepang dengan pusat pemerintahannya di Jakarta. Sehari sebelum Kapitulasi Kalijati, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1942, Panglima Tentara Ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 pasal 1. Osamu Seirei Nomor 1 pasal 1 yang menjadi pokok dari berbagai peraturan tata negara pada waktu pendudukan Jepang. Undang- undang tersebut antara lain memuat hal-hal sebagai berikut.
Pasal 1 : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang ditempatinya agar mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2 : Pembesar balatentara Nippon memegang kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubernur jenderal.
Pasal 3 : Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang-undang dari pemerintahan terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.
Pasal 4 : Balatentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia kepada Nippon (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 6).
Ketika Panglima Tentara Ke-16 secara resmi menerima kapitulasi Pemerintah Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1942, Letjen Hitoshi Imamura, selaku Panglima Tentara Ke-16, sedangkan kepala stafnya adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okazaki segera membentuk pemerintahan militer di Pulau Jawa. Pemegang kekuasaan tertinggi adalah Gunshireikan (panglima tentara) yang kemudian disebut Saiko shikikan (panglima tertinggi). Gunshireikan membawahkan staf pemerintahan militer yang disebut gunseikanbu dan dipimpin oleh gunseikan (kepala pemerintahan militer pusat). Sebagai kepala pemerintahan militer pusat, gunseikan dibantu oleh lima departemen (bu) yaitu Departemen Urusan Umum (Somubu), Departemen Keuangan (Zaimubu), Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu), Departemen Lalu Lintas (Kotsubu), dan Departemen Kehakiman (Shihobu). Pelaksanaan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh staf pemerintahan militer setempat yang disebut gunseibu. Oleh Saiko Shikikan, Pulau Jawa dibagi menjadi tiga gunseibu, yaitu Jawa Barat dengan pusat pemerintahannya di Bandung, Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di Semarang, dan Jawa Timur dengan pusat pemerintahannya di Surabaya. Selain itu, dibentuk pula dua buah pemerintahan istimewa (kochi) untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta. Awalnya, gunseibu ini akan dipegang oleh orang orang yang ahli di bidang pemerintahan. Akan tetapi, rencana tersebut tidak dapat diwujudkan karena kapal yang mengangkut tenaga pemerintahan dari Tokyo berhasil ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Sekutu. Oleh karena itu, untuk sementara waktu beberapa jabatan tinggi di setiap gunseibu diserahkan kepada orang-orang Indonesia (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 7).
Jabatan-jabatan itu antara lain wakil gubernur, residen, walikota praja, dan kepala polisi. Pada bulan Agustus 1942, Saiko Shikikan menetapkan Undang-Undang No. 27 tentang Aturan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi. Kedua undang-undang itu dikeluarkan seiring dengan mulai tibanya orang-orang Jepang yang ahli di bidang pemerintahan sehingga dapat dikatakan berakhirlah masa pemerintahan sementara.
Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1942, pada tanggal 8 Agustus 1942, gunseibu dihapus dan sebagai gantinya dibentuklah pemerintahan syu (setingkat keresidenan pada zaman Pemerintah Hindia Belanda) dan Jawa dibagi menjadi 17 syu terdiri Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki dan Madura. Pemerintahan syu ini merupakan pemerintahan daerah tertinggi di bawah gunseikanbu yang dipimpin oleh seorang syucokan. Dalam melaksanakan tugasnya, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawaratan Cokan) yang mempunyai tiga bu, yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu (bagian ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian).  Struktur pemerintahan di bawah Syu berturut-turut adalah syi (kota praja) atau ken (kabupaten), gun (kewedanaan/distrik), son (kecamatan), dan ku (desa) yang masing-masing dipimpin oleh syico, kenco, gunco, sonco, dan kunco. Disamping itu masih ada pembagian Shi(kota Praja), yang dibagi lagi menjadi Shiku (distrik kota), Batavia diubah menjadi Jakarta dan mendapat perlakuan hidup sebagai Tokobetu Shi (Kota Praja Istimewa). Posisi keraton di jawa juga mengalami perubahan mendasar, tidak lagi menjadi penguasa sebagai Ko yang bersumpah setia pada kemaharajaan Jepang. Meskipun dalam berbagai kesempatan Pemerintah Jepang mengatakan bahwa pemerintahan militer yang dibentuk di Indonesia bersifat sementara, namun pada kenyataannya pemerintahan tersebut tetap diberlakukan sampai tahun 1945(Suwarno, 2003: 79-80).
Pada tanggal 5 September 1943, Pemerintah Militer Tentara Ke-16 membentuk Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan dasar Osamu Seirei No. 36/1943, sedangkan Syu dan Tookubetsu Syi Sangi Kai (Dewan Pertimbangan di Karesidenan dan kota Praja Istimewa) dibentuk dengan Osamu Seirei No. 37/1943, yang dilaksanakan dengan Osamu Kanrei No. 8/1943 yang dikeluarkan oleh Gunseikan. Tugas utama kedua dewan pertimbangan ini adalah mengajukan usul kepada pemerintah, terutama yang berkaitan dengan masalah politik, sehingga pelaksanaan pemerintahan dapat dijalankan secara pesat dan tepat(Suwarno, 2003:82).
Selama masa pemerintahan militer tersebut, setidak tidaknya telah terjadi tiga kali perubahan struktur dan personel pemerintahan yang disesuaikan dengan perkembangan Perang Pasifik. Pertama, pada awal masa pemerintahan militer (Maret 1942-Juli 1942), panglima tertinggi mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan militer dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini dilakukan dalam rangka menarik simpati bangsa Indonesia untuk tidak melakukan perlawanan terhadap mereka. Kedua, sejak bulan Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang mulai mengurangi keterlibatan bangsa Indonesia dalam struktur pemerintahan militer. Kebijakan ini diberlakukan seiring dengan semakin menguatnya kekuasaan militer Jepang di Indonesia. Ketiga, sejak bulan Oktober 1943, pemerintahan militer Jepang kembali mengikutsertakan bangsa Indonesia dalam jumlah yang banyak ke dalam birokrasi pemerintahan militer karena sejak bulan itu militer Jepang mulai mengalami kekalahan di berbagai front pertempuran.
Sepintas lalu, perubahan-perubahan politik yang diambil oleh pemerintahan militer Jepang itu sangatlah penting bagi upaya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Akan tetapi, kalau diperhatikan secara saksama, perubahan perubahan itu hanyalah sebuah sandiwara belaka sebagai upaya Jepang untuk memperoleh simpati bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa selama Saiko Shikikan atau Syucokan tidak mengajukan pertanyaan, maka kedua dewan pertimbangan itu tidak memiliki fungsi apa-apa. Pemerintahan militer Jepang tidak memberikan hak dan wewenang kepada kedua dewan pertimbangan untuk mengajukan pendapat atas inisiatif sendiri berkaitan dengan situasi politik. Namun demikian, terlepas dari itu banyaknya orang Indonesia yang menduduki jabatan penting dalam struktur pemerintahan militer Jepang, memberikan pengalaman yang sangat berharga yang kelak sangat bermanfaat dalam rangka menegakkan kemerdekaan. 
Mobilisasi Rakyat
Dalam rangka melakukan mobilisasi rakyat Indonesia, langkah pertama yang dilakukan oleh Saiko Shikikan adalah membentuk organisasi Gerakan Tiga A yang dijiwai oleh semboyan Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia pada 29 April 1942 yang dipimpin oleh Mr. Sjamsudin, seorang nasionalis kurang  terkenal. Tujuannya adalah sebagai upaya menanamkan tekad penduduk agar berdiri sepenuhnya di belakang pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian, usia dari Gerakan Tiga A tidaklah begitu lama. Pemerintah Militer Jepang menganggap gerakan ini tidak efektif dalam upaya mengerahkan bangsa Indonesia untuk kepentingan perang Jepang sehingga pada bulan Desember 1942 gerakan ini dibubarkan oleh Saiko Shikikan..
Pada tanggal 9 Maret 1943, Pemerintah Militer Jepang meresmikan berdirinya  Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) di bawah pimpinan “Empat Serangkai”, yakni Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Kewajiban Poetera adalah memimpin rakyat untuk bersama-sama menghapus pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda; mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Jepang-Indonesia; mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang; serta membina dan memusatkan potensi bangsa Indonesia untuk kepentingan perang Jepang. Poetera mempunyai pimpinan pusat dan pimpinan daerah, yang masing-masing dibagi-bagikan atas penjabatanya yaitu, Penjabatan Susunan Pembangunan, Penjabatan Usaha dan Budaya, dan Pejabatan Propaganda.  Pimpinan tingkat daerah itu sesuai dengan tingkat daerah yaitu pimpinan Syu, Ken, dan Gun(Poesponegoro dan Notosusanto, 1990 : 19-20). Meskipun di bawah pengawasan yang sangat ketat, para pemimpin Poetera dapat memanfaatkan gerakan ini untuk mempersiapkan bangsa Indonesia mewujudkan kemerdekaannya. Para pemimpin Poetera berusaha menanamkan nasionalisme kepada bangsa Indonesia.
Poetera dipandang lebih kaum pergerakan nasional, Jenderal Kumakichi Harada membubarkan Poetera dan menggantikannya dengan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada tanggal 8 Januari 1944. Alasan pembentukan badan ini adalah semakin menghebatnya perang, sehingga perlu mempersatukan segenap rakyat lahir dan batin. Dasar pengertian berasal dari Hoko Seishin (semangat kebaktian). Kebaktiian ini mempunyai tiga dasar yaitu mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan dan melaksanakan sesuatu sebagai bukti. Pimpinan langsung Jawa Hookokai di pegang langsung oleh Gunseikan, sedangkan di daerah dipegang oleh Shucokan sampai ke Kuco untuk masing tingkatan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990 : 21-22).
Dalam perkembangannya, organisasi ini relatif lebih berhasil dalam mewujudkan tujuan Pemerintah Militer Jepang untuk memobilisasi segenap potensi bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa sejak awal tahun 1945, potensi sosial ekonomi bangsa Indonesia dimobilisasi melalui Jawa Hokokai untuk mencapai jumlah yang telah ditentukan dalam rangka memenangkan Perang Pasifik. Namun demikian, harapan utama Jepang terhadap Jawa Hokokai adalah lahirnya suatu sikap dari rakyat Indonesia bahwa kesengsaraan yang menimpa rakyat bukan hasil pekerjaan Pemerintah Pendudukan Jepang, melainkan hasil kerja para pemimpin pergerakan nasional. Jika opini ini terbentuk, maka rakyat akan membenci mereka dan dengan sendirinya Pemerintah Pendudukan Jepang akan mendapat dukungan penuh dari rakyat Indonesia. Pada kenyataannya, harapan Pemerintah Pendudukan Jepang itu sama sekali tidak terwujud.
Kebijakan Pemerintah Militer Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ternyata tidak diikuti oleh Pemerintahan Militer Tentara Ke-25 dan Minseifu. Tentara Ke-25 yang menjalankan pemerintahan militer di Sumatra menganggap bahwa di wilayah kekuasaannya tidak ditemukan sifat homogenitas penduduknya. Oleh karena itu, panglima tertinggi di Sumatra hanya mengizinkan penduduk setempat untuk mendirikan organisasi-organisasi lokal. Baru pada bulan Maret 1945, Pemerintah Militer Tentara Ke-25 memberikan konsesi politik kepada Sumatra dengan diizinkannya membentuk Chuo Sangi-in. Demikian juga yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Minseifu secara sengaja menutup-nutupi berbagai peristiwa yang dianggapnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah militer(Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 23).
Seiring dengan mulai terdesaknya Jepang dalam Perang Pasifik, Saiko Shikikan kemudian membentuk berbagai organisasi semimiliter dan organisasi militer. Pembentukan organisasi semi-militer dilaksanakan pada tanggal 29 April 1943, yakni Seinendan dan Keiboda keduanya dibawah langsung Gunseikan. Para pemuda yang berusia antara 15-25 tahun (kemudian diubah menjadi 14-22 tahun) berhak masuk menjadi anggota Seinendan.  Sebagai Pembina Seinendan bertindak Naimubu Bunkyoku (Dep. Urusan dalam ngerai bagian pengajaran, olah raga dan Seinendan). Pemimpin daerah setempat adalah Syucokan. Seinendan didirikan dengan tujuan untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Maksud yang disembunyikan adalah sebagai upaya Pemerintah Militer Jepang memperoleh tenaga cadangan untuk memperkuat usaha memenangkan Perang Pasifik(Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 29-30).
Upaya ke arah itu dilakukan dengan jalan memberikan latihan-latihan militer, baik untuk mempertahankan diri maupun untuk penyerangan. Dalam rangka Perang Pasifik, Seinendan akan ditempatkan sebagai barisan cadangan yang akan mempertahankan garis belakang dari medan pertempuran.
Sementara itu, Keibodan merupakan organisasi semimiliter yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang yang akan dididik sebagai pembantu polisi. Mereka memiliki tugas tugas kepolisian, seperti penjagaan lalu lintas, pengamanan desa, dan lain-lain. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pemerintah Militer Jepang berusaha agar organisasi tidak dipengaruhi oleh kaum nasionalis. Hal ini terlihat dari suatu kenyataan bahwa pembentukan Keibodan dilakukan di desa-desa, dimana kaum nasionalis kurang memiliki pengaruh kepada penduduk setempat.
Berbeda dengan organisasi sebelumnya, baik Seinendan maupun Keibodan tidak hanya dibentuk di Pulau Jawa saja. Dengan nama berbeda, organisasi semimiliter dibentuk pula di Sumatra dan di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut. Di Sumatra, dibentuk organisasi yang bernama Bogodan, yakni organisasi yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan Keibodan. Hal yang membedakan dengan Keibodan, organisasi tersebut berada langsung di bawah Syucokan. Organisasi yang sama dibentuk juga di Kalimantan dengan nama Borneo Konan Hokokudan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 31)
Pada bulan 24 April 1943, dikeluarkan pengumuman yang isinya member kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi Pembantu Prajurit (Heiho). Mereka adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan dalam struktur militer Jepang, baik di Angkatan Darat maupun di Pembentukan  organisasi militer ini mencerminkan bahwa sejak pertengahan tahun 1943 tidak terdapat lagi kesangsian pada pihak militer Jepang bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk tugas-tugas militer. Akan tetapi, mereka masih meragukan kesetiaan bangsa Indonesia terhadap kepentingan perang Jepang.
Ketika perang menjadi dahsyat dan jepang mulai terdesak oleh sekutu. Jepang sangat membutuhkan tenaga Indonesia untuk membantu tentara jepang di medan pertempuran dan mempertahankan Indonesia dari tentara Sekutu. Maka dibentuk satuan tentara pribumi dikenal sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 dalam bahasa Jepang Kiodo Bo Ei Giyugun. Pembentukan tentara Peta ini merupakan usulan Gatot Mangkupraja  pada tanggal 7 September 1943. PETA di sahkan oleh Letnan Jenderal Kumaki Harada berdasarkan Osamu Seirei No. 44 tentang pembentukan pasukan Sukarela untuk membela tanah Jawa. Pembentukkan PETA, ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama yang telah mendapat pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan. Keanggotaan PETA dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya bukan pangkat, tetapi nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1) Daidanco (Komandan Batalyon), (2) Cudanco (Komandan Kompi), (3) Shudanco (Komandan Peleton), (4) Budanco (Komanda Regu), dan (5) Giyuhei (Prajurit Sukarela) (Suwarno, 2003 : 89-90).
Pengarahan terhadap golongan wanita juga tidak dilupakan oleh pemerintah Jepang, untuk keperluan ini Jepang membentuk Fujinkai (Himpunan Wanita). Dalam keanggotaanya batas maksimal keanggotaanya tidak disebutkan, tetapi batas minimum umur ditetapkan adalah 15 tahun. Pimpinan Fujinkai ditetapkan istri kepala daerah atau pejabat lainnya. Dengan demikian diharapkan kaum wanita akan mudah dikerahkan tenaganya. Para anggota Fujinkai diwajibkan melakukan kegiatan yang menujang peperangan digaris belakang, misalnya mengumpulkan dana, menjahit pakaian, menanam jarak dan kapas. Dari  kenyataaan ini wanita tidak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang(Nurliana,1994 : 24).

Daftar Rujukan
Nurliana, Nana. 1994. Wanita Indonesia di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).  Depok : (Laporan Penelitian) Universitas Indonesia.
Notosunsanto, Nugroho, 1979. Tentara Peta : Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoned & Notosusanto, Nugroho. 1990.  Sejarah Nasional Indonesia VI : Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Surwarno, P.J. 2003. Tatanegara Indonesia : dari Sriwijaya sampai Indonesia Modern. Yogyakarta : Unversitas Sanata Dharma.
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan kebangsaan Indonesia : dari kebangkiatan hingga kemerdekaan. Semarang : IKIP Press.


1 komentar: