BIROKRASI INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
oleh : Andrik Suprianto
Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang
paling bersejarah dalam sejarah bangsa Indonesia . pada masa ini telah
terjadi perubahan mendasar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia .
Perubahan-perubahan yang terjadi adalah dampak dari pendudukan Jepang yang
sangat menekan dan memeras. Masa yang sangat singkat sebanding dengan masa
dengan masa penjajahan belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lama(Utomo,
1995: 176).
Pendudukan Jepang di Indonesia
merupakan bagian dari rangkaian politik imperialism di asia
tenggara. Kedatangannya di Indonesia ingin sebuah imperium di Asia .
Munculnya imperlialisme Jepang tidak lepas dari adanya restorasi Meiji yang
berdampak sebagai modernisasi di segala bidang kehidupan. Selain itu juga,
Imperliasme jepang juga didukung filsafat Hakko
Ichi-u.
Filsafat ini dilatar belakangi
oleh Pernyataan jenderal Hideki Tojo, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan
nasional dasar dari pada Jepang adalah “pembentukan perdamaian dunia sesuai dengan
cita-cita yang mulai Hakko Ichi-u (delapan
benag dibawah satu atap), yang menjadi landasan Kemaharajaan. Intisari dari
filsafat ini adalah pembentukan suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang
yang meliputi bagian-bagian besar di dunia. Lingkungan Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya yang meliputi
kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina,
dan Mancukuo (Manchuria ) sebagai tulang punggungnya(Notosusanto, 1979 :17-18)
Cita-cita Jepang untuk membangun
kawasan persemakmuran asia timur raya di bawah
naunganya, di coba di realisasi dengan mencetuskan perang pasifik, yang dimulai
dengan penyerangan mendadak terhadap pangakalan angkatan laut Amerika Serikat
di Pearl Harbour, Hawai pada 7 Desember 1941. Setelah serangan ke Pearl Harbour ,
gerakan invasi Jepang merembet ke Asia Tenggara. Dengan cepat Jepang mampu
menguasai Philipina pada bulan Januari 1942. Singapura bulan Februari 1942(Utomo,
1995: 179). Faktor sumber daya alam
mempengaruhi Jepang untuk menginvansi ke Asia Tenggara. Tempat yang banyak
sumber daya alam tersebut adalah wilayah Hindia-Belanda. 10 januari 1942,
Tarakan yang merupakan wilayah Hindia-Belanda yang merupakan tambang minyak
terbesar berhasil kuasai oleh Jepang. Kemudian selanjutnya beberapa kota yang merupakan kota
tambang minyak berhasil dikuasai oleh Jepang. Secara resmi Jepang
telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 dengan di tanda tanganinya perjanjaian Kalijati, secara resmi
Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan seluruh wilayah Hindia-Belanda kepada
Jepang tanpa syarat. Perundingan itu dilakukan oleh Gubernur Jenderal Tjarda
van Starkenborgh Stachouwer yang didampingi oleh Jenderal Ter Poorten dan para pembesar
lainnya dengan perintah Jenderal Hitoshi Imamura..
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka sejak
tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah masa penjajahan Belanda sekaligus dimulainya
masa penjajahan Jepang di Indonesia. Dalam pandangan Jepang, cita-cita untuk
mewujudkan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sebagai tahap pertama
dari upaya mewujudkan lingkungan kemakmuran bersama dan perdamaian dunia telah
dapat dirampungkan. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Pemerintah Militer
Jepang adalah membentuk pemerintahan militer untuk memobilisasi potensi rakyat Indonesia untuk
mempercepat berakhirnya Perang Pasifik
Struktur Pemerintahan
Ketika bangsa Jepang mulai meningkatkan rencana ekspansinya
ke Selatan, termasuk ke Indonesia, salah satu persiapan penting yang dilakukan
oleh Pemerintah Jepang adalah merencanakan pemerintahan di seluruh wilayah
Selatan yang diduduki oleh militer Jepang. Ada dua dokumen yang menjadi asas penyelenggaraan
pemerintahan militer Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942-1945. Dokumen
pertama adalah “Asas-Asas Mengenai Pemerintahan di Wilayah-Wilayah Selatan yang
Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo) yang disahkan dalam
Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada tanggal 20 November 1941.
Dokumen tersebut memuat empat rencana pokok pemerintahan pasca penguasaan
daerah Selatan oleh militer Jepang.
Pertama,
sasaran pemerintah militer adalah (a) memulihkan ketertiban umum; (b)
mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan nasional; dan
(c) menjamin berdikari di bidang ekonomi bagi personel militer.
Kedua,
status terakhir wilayah-wilayah yang diduduki dan pengaturannya pada masa depan
akan ditentukan terpisah.
Ketiga, dalam
pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada
akan dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi
tradisional dan kebiasaan-kebiasaan penduduk setempat.
Keempat,
penduduk setempat akan dibina sedemikian rupa sehingga mempunyai kepercayaan
kepada pasukan pasukan Jepang dan penggairahan secara prematur dari
gerakangerakan kemerdekaan penduduk setempat harus dihindarkan (Notosusanto,
1970: 94).
Dokumen kedua adalah “Persetujuan Pokok antara Angkatan
Darat dan Angkatan Laut Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-Wilayah yang
Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni Kansuru riku-kaigun Chuo
Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam Konferensi Penghubung antara Markas
Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada tanggal 26 November 1941.
Berdasarkan dokumen ini, Angkatan Darat (Rikugun)
dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang
secara bersama-sama akan menjalankan wewenang politiknya atas wilayah Indonesia .
Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali dimasukkan ke dalam wewenang
Angkatan Darat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua menjadi wewenang Angkatan Laut. Selain itu, dicapai pula kesepakatan
bahwa pelaksanaan pemerintahan di wilayah Indonesia sepenuhnya akan
dikendalikan oleh masing-masing Markas Besar Angkatan Darat dan Markas Besar
Angkatan Laut yang mengkoordinasikan kegiatan komando-komando di bawahnya.
Dengan mengacu pada kedua dokumen itu, sejak Kapitulasi Kalijati tanggal 8
Maret 1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia.
Pertama, Pulau
Sumatra diperintah oleh Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan Bukittinggi
sebagai markas besarnya.
Kedua, di
Pulau Jawa-Bali lahirlah pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara
Ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan Batavia
(kemudian diubah namanya menjadi Jakarta )
sebagai markas besarnya.
Ketiga,
Angkatan Laut Jepang membentuk pemerintah militer atas Pulau Kalimantan, Sulawesi , Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pelaksana
dari pemerintahan militer ini adalah Armada Ke-3 Angkatan Laut Jepang (kemudian
berubah menjadi Armada Wilayah Barat Daya) dengan Makasar sebagai markas
besarnya.
Meskipun demikian, kalau dilihat dari berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, kedudukan Pemerintahan Militer Tentara
Ke-16 di Pulau Jawa memiliki pengaruh dominan atas hegemoni Jepang di
Indonesia. Hal ini tidaklah terlalu aneh mengingat kedudukan Pulau Jawa sebagai
pusat aktivitas bagi seluruh wilayah Indonesia sejak zaman Pemerintah
Hindia Belanda.
Pemerintahan Sumatra
Pemerintahan di Sumatra di laksanakan oleh tentara ke-25
angkatan darat Rikugun. Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang di bawah pimpinan
Letjen Yamashita Tomoyuki baru berhasil menguasai Sumatra
sepenuhnya pada tanggal 12 Maret 1942. Namun demikian, daerah daerah vital di
pulau ini telah dikuasai oleh Tentara Ke-25 sejak tanggal 16 Februari 1942.
Sebelum Tentara Ke-25 membentuk gunseikanbu, Letjen Yamashita Tomoyuki
membagi Pulau Sumatra menjadi 10 keresidenan (syu) yang membawahkan bunsyu
(subkeresidenan), gun, dan son. Kesepuluh Syu itu adalah
Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang,
Lampung, dan Bangka- Biliton. Setiap syu dipimpin oleh syuchokan yang
dipegang oleh orang-orang Jepang.
Pada pertengahan tahun 1943, Panglima Tentara Ke - 25
berhasil membentuk gunseikanbu, yaitu staf pemerintahan militer pusat
sebagai organ pelaksana pemerintahan di Sumatra .
Staf pemerintahan militer pusat ini dipimpin oleh seorang gunseikan yang
dipegang langsung oleh Panglima Tentara Ke-25. Dalam melaksanakan
pemerintahannya, gunseikan membentuk sepuluh departemen yang dikepalai
oleh seorang direktur. Kesepuluh departemen itu adalah Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kepolisian, Departemen Kehakiman, Departemen Industri, Departemen
Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen
Penerangan, Departemen Pemindahan dan Pengiriman, dan Departemen Meteorologi.
Kesepuluh direktur ini diawasi oleh Direktur Dalam Negeri yang bertindak
sebagai Wakil Gunseikan. Sementara itu, setiap pemerintahan syu memiliki
tiga buah departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kepolisian, dan
Departemen Kesejahteraan Sosial(Suwarno, 2003: 80-81).
Pemerintahan Indonesia Timur
Pelaksanaan pemerintahan militer untuk wilayah Indonesia
Timur dilaksanakan oleh Armada Ke-3, yang kemudian menjadi Armada Wilayah Barat
Daya (Nansei Homen Kantai) angkatan laut Jepang dengan Makasar sebagai pusat
pemerintahannya. Pemerintahan militer yang dijalankan oleh Angkatan Laut ini,
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Minseifu (pemerintahan sipil) yang membawahkan tiga buah minseibu,
yaitu: wilayah Kalimantan dengan Balikpapan
sebagai markas besarnya; Sulawesi dengan markas besarnya di Makasar; dan
Maluku-Nusa Tenggara dengan markas besarnya di Ambon .
Sementara, Irian Barat (berubah nama menjadi Irian Jaya kemudian Papua)
ditempatkan dalam satu pemerintahan dengan Papua Nugini. Penggabungan ini
semata-mata dilakukan oleh Angkatan Laut Jepang karena pertimbangan strategi
mereka dalam menghadapi Perang Pasifik(Notosunsanto, 1979: 25).
Masing-masing minseibu membawahkan syu, ken,
bunken (subkabupaten), gun, dan son. Sebelum bulan Agustus
1942, beberapa orang Indonesia
memegang jabatan tinggi. Akan tetapi, sejak bulan Agustus 1942 jabatan yang
dipegang oleh orang-orang Indonesia hanya terbatas sampai gunco dan kenco (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990
:
12-13).
Pemerintahan di Jawa
Roda pemerintahan
atas Pulau Jawa dilaksanakan oleh Tentara Ke-16 Angkatan Darai Jepang dengan
pusat pemerintahannya di Jakarta .
Sehari sebelum Kapitulasi Kalijati, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1942,
Panglima Tentara Ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 pasal 1. Osamu Seirei
Nomor 1 pasal 1 yang menjadi pokok dari berbagai peraturan tata negara pada
waktu pendudukan Jepang. Undang- undang tersebut antara lain memuat hal-hal
sebagai berikut.
Pasal 1
: Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah
yang ditempatinya agar mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2
: Pembesar balatentara Nippon memegang
kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang
dahulu berada di tangan gubernur jenderal.
Pasal 3
: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang-undang dari pemerintahan
terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan
dengan aturan pemerintahan militer.
Pasal 4
: Balatentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai
yang setia kepada Nippon (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:
6).
Ketika Panglima Tentara Ke-16 secara resmi menerima kapitulasi
Pemerintah Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1942, Letjen Hitoshi Imamura, selaku
Panglima Tentara Ke-16, sedangkan kepala stafnya adalah Mayor Jenderal
Seizaburo Okazaki segera membentuk pemerintahan militer di Pulau Jawa. Pemegang
kekuasaan tertinggi adalah Gunshireikan (panglima tentara) yang kemudian
disebut Saiko shikikan (panglima tertinggi). Gunshireikan
membawahkan staf pemerintahan militer yang disebut gunseikanbu dan
dipimpin oleh gunseikan (kepala pemerintahan militer pusat). Sebagai
kepala pemerintahan militer pusat, gunseikan dibantu oleh lima departemen
(bu) yaitu Departemen Urusan Umum (Somubu), Departemen Keuangan (Zaimubu),
Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
Departemen Lalu Lintas (Kotsubu), dan Departemen Kehakiman (Shihobu).
Pelaksanaan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh staf pemerintahan militer
setempat yang disebut gunseibu. Oleh Saiko Shikikan, Pulau Jawa
dibagi menjadi tiga gunseibu, yaitu Jawa Barat dengan pusat
pemerintahannya di Bandung, Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di
Semarang, dan Jawa Timur dengan pusat pemerintahannya di Surabaya. Selain itu,
dibentuk pula dua buah pemerintahan istimewa (kochi )
untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta .
Awalnya, gunseibu ini akan dipegang oleh orang orang yang ahli di bidang
pemerintahan. Akan tetapi, rencana tersebut tidak dapat diwujudkan karena kapal
yang mengangkut tenaga pemerintahan dari Tokyo
berhasil ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Sekutu. Oleh karena itu, untuk
sementara waktu beberapa jabatan tinggi di setiap gunseibu diserahkan
kepada orang-orang Indonesia
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:
7).
Jabatan-jabatan itu antara lain wakil gubernur, residen,
walikota praja, dan kepala polisi. Pada bulan Agustus 1942, Saiko Shikikan menetapkan
Undang-Undang No. 27 tentang Aturan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi. Kedua
undang-undang itu dikeluarkan seiring dengan mulai tibanya orang-orang Jepang
yang ahli di bidang pemerintahan sehingga dapat dikatakan berakhirlah masa
pemerintahan sementara.
Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1942, pada tanggal 8
Agustus 1942, gunseibu dihapus dan sebagai gantinya dibentuklah
pemerintahan syu (setingkat keresidenan pada zaman Pemerintah Hindia
Belanda) dan Jawa dibagi menjadi 17 syu terdiri Banten, Batavia, Bogor,
Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya,
Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki dan Madura. Pemerintahan syu ini
merupakan pemerintahan daerah tertinggi di bawah gunseikanbu yang
dipimpin oleh seorang syucokan. Dalam melaksanakan tugasnya, syucokan
dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawaratan Cokan) yang
mempunyai tiga bu, yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu
(bagian ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian). Struktur pemerintahan di bawah Syu berturut-turut
adalah syi (kota praja) atau ken (kabupaten), gun (kewedanaan/distrik),
son (kecamatan), dan ku (desa) yang masing-masing dipimpin oleh syico,
kenco, gunco, sonco, dan kunco. Disamping itu masih
ada pembagian Shi(kota
Praja), yang dibagi lagi menjadi Shiku (distrik
kota ), Batavia
diubah menjadi Jakarta
dan mendapat perlakuan hidup sebagai Tokobetu
Shi (Kota Praja Istimewa). Posisi keraton di jawa juga mengalami perubahan
mendasar, tidak lagi menjadi penguasa sebagai Ko yang bersumpah setia pada kemaharajaan Jepang. Meskipun dalam
berbagai kesempatan Pemerintah Jepang mengatakan bahwa pemerintahan militer
yang dibentuk di Indonesia
bersifat sementara, namun pada kenyataannya pemerintahan tersebut tetap
diberlakukan sampai tahun 1945(Suwarno, 2003: 79-80).
Pada tanggal 5 September 1943, Pemerintah Militer Tentara
Ke-16 membentuk Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan dasar
Osamu Seirei No. 36/1943, sedangkan Syu dan Tookubetsu Syi Sangi Kai (Dewan
Pertimbangan di Karesidenan dan kota Praja Istimewa) dibentuk dengan Osamu Seirei No. 37/1943, yang dilaksanakan
dengan Osamu Kanrei No. 8/1943 yang
dikeluarkan oleh Gunseikan. Tugas
utama kedua dewan pertimbangan ini adalah mengajukan usul kepada pemerintah, terutama
yang berkaitan dengan masalah politik, sehingga pelaksanaan pemerintahan dapat
dijalankan secara pesat dan tepat(Suwarno, 2003:82).
Selama masa pemerintahan militer tersebut, setidak tidaknya
telah terjadi tiga kali perubahan struktur dan personel pemerintahan yang
disesuaikan dengan perkembangan Perang Pasifik. Pertama, pada awal masa
pemerintahan militer (Maret 1942-Juli 1942), panglima tertinggi
mengikutsertakan orang-orang Indonesia
dalam pemerintahan militer dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini dilakukan
dalam rangka menarik simpati bangsa Indonesia untuk tidak melakukan
perlawanan terhadap mereka. Kedua, sejak bulan Agustus 1942,
pemerintahan militer Jepang mulai mengurangi keterlibatan bangsa Indonesia dalam
struktur pemerintahan militer. Kebijakan ini diberlakukan seiring dengan
semakin menguatnya kekuasaan militer Jepang di Indonesia. Ketiga, sejak
bulan Oktober 1943, pemerintahan militer Jepang kembali mengikutsertakan bangsa
Indonesia
dalam jumlah yang banyak ke dalam birokrasi pemerintahan militer karena sejak
bulan itu militer Jepang mulai mengalami kekalahan di berbagai front pertempuran.
Sepintas lalu, perubahan-perubahan politik yang diambil oleh
pemerintahan militer Jepang itu sangatlah penting bagi upaya bangsa Indonesia
mencapai kemerdekaannya. Akan tetapi, kalau diperhatikan secara saksama,
perubahan perubahan itu hanyalah sebuah sandiwara belaka sebagai upaya Jepang
untuk memperoleh simpati bangsa Indonesia .
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa selama Saiko
Shikikan atau Syucokan tidak mengajukan pertanyaan, maka kedua dewan
pertimbangan itu tidak memiliki fungsi apa-apa. Pemerintahan militer Jepang
tidak memberikan hak dan wewenang kepada kedua dewan pertimbangan untuk
mengajukan pendapat atas inisiatif sendiri berkaitan dengan situasi politik.
Namun demikian, terlepas dari itu banyaknya orang Indonesia yang menduduki jabatan
penting dalam struktur pemerintahan militer Jepang, memberikan pengalaman yang
sangat berharga yang kelak sangat bermanfaat dalam rangka menegakkan
kemerdekaan.
Mobilisasi Rakyat
Dalam
rangka melakukan mobilisasi rakyat Indonesia, langkah pertama yang dilakukan
oleh Saiko Shikikan adalah membentuk organisasi Gerakan Tiga A yang
dijiwai oleh semboyan Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang
Pemimpin Asia pada 29 April 1942 yang dipimpin oleh Mr. Sjamsudin, seorang nasionalis
kurang terkenal. Tujuannya adalah
sebagai upaya menanamkan tekad penduduk agar berdiri sepenuhnya di belakang
pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian, usia dari Gerakan Tiga A tidaklah
begitu lama. Pemerintah Militer Jepang menganggap gerakan ini tidak efektif
dalam upaya mengerahkan bangsa Indonesia
untuk kepentingan perang Jepang sehingga pada bulan Desember 1942 gerakan ini
dibubarkan oleh Saiko Shikikan..
Pada
tanggal 9 Maret 1943, Pemerintah Militer Jepang meresmikan berdirinya Poesat
Tenaga Rakjat (Poetera) di bawah pimpinan “Empat Serangkai”, yakni Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Kewajiban
Poetera adalah memimpin rakyat untuk bersama-sama menghapus pengaruh Amerika, Inggris,
dan Belanda; mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat
rasa persaudaraan Jepang-Indonesia; mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang;
serta membina dan memusatkan potensi bangsa Indonesia untuk kepentingan perang
Jepang. Poetera mempunyai pimpinan pusat dan pimpinan daerah, yang
masing-masing dibagi-bagikan atas penjabatanya yaitu, Penjabatan Susunan
Pembangunan, Penjabatan Usaha dan Budaya, dan Pejabatan Propaganda. Pimpinan tingkat daerah itu sesuai dengan
tingkat daerah yaitu pimpinan Syu, Ken,
dan Gun(Poesponegoro dan Notosusanto, 1990 : 19-20). Meskipun
di bawah pengawasan yang sangat ketat, para pemimpin Poetera dapat memanfaatkan
gerakan ini untuk mempersiapkan bangsa Indonesia mewujudkan kemerdekaannya.
Para pemimpin Poetera berusaha menanamkan nasionalisme kepada bangsa Indonesia .
Poetera dipandang lebih kaum
pergerakan nasional, Jenderal Kumakichi Harada membubarkan Poetera dan
menggantikannya dengan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
pada tanggal 8 Januari 1944. Alasan pembentukan badan ini adalah semakin
menghebatnya perang, sehingga perlu mempersatukan segenap rakyat lahir dan
batin. Dasar pengertian berasal dari Hoko
Seishin (semangat kebaktian). Kebaktiian ini mempunyai tiga dasar yaitu
mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan dan melaksanakan sesuatu sebagai
bukti. Pimpinan langsung Jawa Hookokai
di pegang langsung oleh Gunseikan, sedangkan
di daerah dipegang oleh Shucokan
sampai ke Kuco untuk masing tingkatan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990
:
21-22).
Dalam perkembangannya,
organisasi ini relatif lebih berhasil dalam mewujudkan tujuan Pemerintah Militer
Jepang untuk memobilisasi segenap potensi bangsa Indonesia . Hal tersebut dapat dilihat
dari suatu kenyataan bahwa sejak awal tahun 1945, potensi sosial ekonomi bangsa
Indonesia
dimobilisasi melalui Jawa Hokokai untuk mencapai jumlah yang telah
ditentukan dalam rangka memenangkan Perang Pasifik. Namun demikian, harapan
utama Jepang terhadap Jawa Hokokai adalah lahirnya suatu sikap
dari rakyat Indonesia bahwa kesengsaraan yang menimpa rakyat bukan hasil
pekerjaan Pemerintah Pendudukan Jepang, melainkan hasil kerja para
pemimpin pergerakan nasional. Jika opini ini terbentuk, maka rakyat akan
membenci mereka dan dengan sendirinya Pemerintah Pendudukan Jepang akan
mendapat dukungan penuh dari rakyat Indonesia . Pada kenyataannya,
harapan Pemerintah Pendudukan Jepang itu sama sekali tidak terwujud.
Kebijakan
Pemerintah Militer Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ternyata tidak diikuti oleh
Pemerintahan Militer Tentara Ke-25 dan Minseifu. Tentara Ke-25 yang menjalankan
pemerintahan militer di Sumatra menganggap
bahwa di wilayah kekuasaannya tidak ditemukan sifat homogenitas penduduknya.
Oleh karena itu, panglima tertinggi di Sumatra
hanya mengizinkan penduduk setempat untuk mendirikan organisasi-organisasi
lokal. Baru pada bulan Maret 1945, Pemerintah Militer Tentara Ke-25 memberikan
konsesi politik kepada Sumatra dengan
diizinkannya membentuk Chuo Sangi-in. Demikian juga yang terjadi di
wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Minseifu secara
sengaja menutup-nutupi berbagai peristiwa yang dianggapnya bertentangan dengan kebijakan
pemerintah militer(Poesponegoro
dan Notosusanto, 1990: 23).
Seiring
dengan mulai terdesaknya Jepang dalam Perang Pasifik, Saiko Shikikan kemudian
membentuk berbagai organisasi semimiliter dan organisasi militer. Pembentukan
organisasi semi-militer dilaksanakan pada tanggal 29 April 1943, yakni Seinendan
dan Keiboda keduanya
dibawah langsung Gunseikan. Para
pemuda yang berusia antara 15-25 tahun (kemudian diubah menjadi 14-22 tahun)
berhak masuk menjadi anggota Seinendan. Sebagai Pembina Seinendan bertindak Naimubu Bunkyoku (Dep. Urusan dalam
ngerai bagian pengajaran, olah raga dan Seinendan). Pemimpin daerah setempat
adalah Syucokan. Seinendan didirikan dengan tujuan untuk mendidik dan
melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan
kekuatan sendiri. Maksud yang disembunyikan adalah sebagai upaya Pemerintah
Militer Jepang memperoleh tenaga cadangan untuk memperkuat usaha memenangkan
Perang Pasifik(Poesponegoro
dan Notosusanto, 1990: 29-30).
Upaya
ke arah itu dilakukan dengan jalan memberikan latihan-latihan militer, baik
untuk mempertahankan diri maupun untuk penyerangan. Dalam rangka Perang
Pasifik, Seinendan akan ditempatkan sebagai barisan cadangan yang akan mempertahankan
garis belakang dari medan
pertempuran.
Sementara
itu, Keibodan merupakan organisasi semimiliter yang dibentuk oleh
Pemerintah Militer Jepang yang akan dididik sebagai pembantu polisi. Mereka
memiliki tugas tugas kepolisian, seperti penjagaan lalu lintas, pengamanan
desa, dan lain-lain. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pemerintah Militer
Jepang berusaha agar organisasi tidak dipengaruhi oleh kaum nasionalis. Hal ini
terlihat dari suatu kenyataan bahwa pembentukan Keibodan dilakukan di
desa-desa, dimana kaum nasionalis kurang memiliki pengaruh kepada penduduk
setempat.
Berbeda
dengan organisasi sebelumnya, baik Seinendan maupun Keibodan tidak
hanya dibentuk di Pulau Jawa saja. Dengan nama berbeda, organisasi semimiliter dibentuk
pula di Sumatra dan di daerah yang dikuasai oleh
Angkatan Laut. Di Sumatra, dibentuk organisasi yang bernama Bogodan,
yakni organisasi yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan Keibodan.
Hal yang membedakan dengan Keibodan, organisasi tersebut berada langsung
di bawah Syucokan. Organisasi yang sama dibentuk juga di Kalimantan dengan nama Borneo Konan Hokokudan (Poesponegoro
dan Notosusanto, 1990: 31)
Pada
bulan 24 April 1943, dikeluarkan pengumuman yang isinya member kesempatan kepada
para pemuda Indonesia
untuk menjadi Pembantu Prajurit (Heiho). Mereka adalah prajurit
Indonesia yang langsung ditempatkan dalam struktur militer Jepang, baik di
Angkatan Darat maupun di Pembentukan organisasi
militer ini mencerminkan bahwa sejak pertengahan tahun 1943 tidak terdapat lagi
kesangsian pada pihak militer Jepang bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan
untuk tugas-tugas militer. Akan tetapi, mereka masih meragukan kesetiaan bangsa
Indonesia
terhadap kepentingan perang Jepang.
Ketika
perang menjadi dahsyat dan jepang mulai terdesak oleh sekutu. Jepang sangat
membutuhkan tenaga Indonesia
untuk membantu tentara jepang di medan pertempuran
dan mempertahankan Indonesia
dari tentara Sekutu. Maka dibentuk satuan tentara pribumi dikenal sebagai Tentara
Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 dalam bahasa
Jepang Kiodo Bo Ei Giyugun. Pembentukan
tentara Peta ini merupakan usulan Gatot Mangkupraja pada tanggal 7 September 1943. PETA di sahkan
oleh Letnan Jenderal Kumaki Harada berdasarkan Osamu Seirei No. 44 tentang
pembentukan pasukan Sukarela untuk membela tanah Jawa. Pembentukkan PETA,
ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia , terutama yang telah
mendapat pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan. Keanggotaan
PETA dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya bukan pangkat,
tetapi nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1) Daidanco (Komandan
Batalyon), (2) Cudanco (Komandan
Kompi), (3) Shudanco (Komandan
Peleton), (4) Budanco (Komanda Regu),
dan (5) Giyuhei (Prajurit Sukarela) (Suwarno,
2003 : 89-90).
Pengarahan
terhadap golongan wanita juga tidak dilupakan oleh pemerintah Jepang, untuk
keperluan ini Jepang membentuk Fujinkai
(Himpunan Wanita). Dalam keanggotaanya batas maksimal keanggotaanya tidak
disebutkan, tetapi batas minimum umur ditetapkan adalah 15 tahun. Pimpinan Fujinkai ditetapkan istri kepala daerah
atau pejabat lainnya. Dengan demikian diharapkan kaum wanita akan mudah
dikerahkan tenaganya. Para anggota Fujinkai diwajibkan melakukan kegiatan
yang menujang peperangan digaris belakang, misalnya mengumpulkan dana, menjahit
pakaian, menanam jarak dan kapas. Dari
kenyataaan ini wanita tidak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang(Nurliana,1994
: 24).
Daftar
Rujukan
Nurliana, Nana. 1994.
Wanita Indonesia di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Depok : (Laporan Penelitian) Universitas Indonesia .
Notosunsanto, Nugroho,
1979. Tentara Peta : Pada Jaman
Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta
: PT Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoned
& Notosusanto, Nugroho. 1990. Sejarah Nasional Indonesia
VI : Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia . Jakarta : PN Balai Pustaka.
Surwarno, P.J. 2003. Tatanegara Indonesia
: dari Sriwijaya sampai Indonesia
Modern. Yogyakarta : Unversitas Sanata Dharma.
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan kebangsaan Indonesia
: dari kebangkiatan hingga kemerdekaan. Semarang : IKIP Press.
Wow lengkap, keren
BalasHapus